Pejuang Hidup
Tahun
ini menjadi tahun penuh ujian untuk semua orang semenjak pandemi COVID-19
muncul, virus tak kasat mata itu merenggut jutaan jiwa di seluruh dunia. Semua orang
harus berdiam diri di rumah demi keselamatan, membatasi berkomunikasi dengan
orang, sekolah dialihkan, sistem pendidikan ditata ulang, banyak perusahaan
gulung tikar, berita-berita di televiisi mengabarkan banyak orang pingsan karna
kelaparan.
Entah bagaimana ini nyata, adegan-adegan film yang ku tonton dulu seperti benar-benar ada di jaman sekarang. Salah satu yang terdampak dari pandemi ini adalah keluargaku. Kami yang menggantungkan hidup kami dari penjualan warung makan, penjualan benar-benar menurun drastis, sekitar lebih dari 50% dari penjualan biasanya. Walau begitu, kami masih sangat beryukur, di luar sana mungkin saja banyak yang tidak seberuntung kami, masih sangat cukup untuk makan sehari hari, jajan sekedar nafsu duniawi dikurangi, beruntung kami menjual makanan, jika tak habis, kami makan sendiri. Semua kami jalani dengan senang hati, walau jerih payah yang kami lalui belum menghasilkan saat ini, masih sangat bersyukur bisa bertahan di titik ini bersama keluarga.
Keadaan
ini menguji kepekaan kepada sesama, ya termasuk diriku. Suatu malam, aku
seperti biasa membantu kedua orang tuaku berjualan di warung makan, sedang
sibuk melayani pesanan pembeli, lalu ada seorang bapak yang tiba-tiba
menyodorkan uang sebesar lima ribu rupiah “mba jual nasi ya? Saya mau beli
nasinya aja sama sambal”, begitu katanya. Aku tak begitu memperhatikan
bagaimana keadaanya, yang kulihat hanya ekspresi wajahnya yang ragu-ragu,
bingung dan mungkin… kelaparan?. Tak tega melihat bapak itu, namun aku terlalu
sibuk melayani pembeli, sedangkan ketersediaan nasi putih sudah habis, lalu aku
menawarkan nasi kebuli, menanyakan kepadanya khawatir ia tidak menyukai nasi
kebuli, entah bagaimana si bapak memahami tawaranku, ia lantas pergi dari
tempatnya, terlihat sedikit bingung gerak geriknya.
Aku menjadi sangat bersalah saat itu, tak tega
membiarkan seseorang kelaparan dengan uang seadanya. Saat itu sebenarnya aku
ingin memanggilnya kembali, menjelaskan kembali maksudku, bukan untuk
menolaknya, andai bapak itu mau menunggu. Namun, keadaan tak memungkinkan
untukku memaggil atau mengejarnya, hanya bergerak cepat untuk menyelesaikan
pesanan pembeli yang lain, dengan harapku setelah ini bisa bertemu bapak itu
kembali. Namun, bapak itu terlalu cepat pergi, aku tak menemukan sosoknya. “Oh
Allah semoga ada orang baik yang membantunya” aku hanya bisa berdoa untuknya.
Komentar